Sabtu, 17 Agustus 2019

JAUH, sebuah cerita pendek

JAUH

Karya Mikael Qamara Erlambang

(1)

Dengung bohlam bergelantung, menyorot buku di pangkuan. Uap mengepul dari mangkuk, disertai aroma yang menguar.

Aku memasukkan catatan ke dalam tas yang sarat tambal jahitan. Jemari kurusku mengelus lambat tas yang menemani nyaris genap setahun menuntut ilmu di kota orang.

Kuseruput kuah asin mie, menyogok perut yang meronta lapar sejak belajar tadi malam. Ayam tetangga berkokok menyambut subuh yang timbul di sela rimbun pencakar langit. Lalu aku bersimpuh di sajadah, tak lupa menyelipkan doa untuk Ibuk di kampung.

---

Ibuk di kampung, meletakkan kitab di meja makan yang kosong. Bertengger duduk dia di bawah jendela. Rumah ini selalu sepi tanpa hadirnya ananda yang lama tak berpulang.

Ibuk meremas sendi badannya yang mengerang, merindukan rehat. Di bawah terpaan syahdu kumandang adzan, dianyamnya doa untuk putra tersayang.

Tertatih, karung goni yang nantinya diisi berkilo padi disampirkan mengelilingi punggung rentanya, dan dikayuhnya sepeda butut itu, bertelanjang kaki, ke sawah kampung sebelah. Jauh.

---

"Mikir Ibu?"

Aku tersadar dari lamunan, mendongak. Abang kantin, tempatku banyak berutang, menerka tepat sasaran, seperti biasa. Aku hanya bisa mengangguk. Tepukannya di pundak terasa hangat.

"Ibumu pasti bangga sama kamu. Makan yang banyak, sehat terus, Fan."

Aku malah akhirnya hanya mengamati lekat makanan di hadapanku, tak kusentuh meski lapar. Terpikir Ibuk di rumah. Sudah makan, belum? Sehatkah beliau? Andai bisa dibagi masakan ini.

"Pulang kampung, Fan?" tanya beliau.

"Rencana abis Ujian, bang. Kumpulin uang dulu."

"Kumpul prestasi juga, pulang banggakan Ibu. Titip salam."

Waktu berjalan, kubongkar celengan, menghitung tabungan isi recehan itu. Syukur, cukuplah buat ongkos.

"Ibuk pasti senang," batinku.

Kugenggam erat raport hasil usaha kerasku.

Derum ban menggores aspal, gerung mesin memacu bus meninggalkan terminal kota yang masih sepi. Aku mengedar pandang ke panorama yang berkelebat lewat, kabur oleh kabut pagi dan kecepatan.

Aku melompat turun di batas kampung. Sepatuku memijak kembali jalan berbatu itu. Bendera putih terikat, berkelepak di tugu selamat datang.

Wah, siapa yang meninggal, pikirku. Ibuk pasti tengah sibuk membantu keluarga yang sedang berduka. Aku sangat mengenal sifat Ibuk yang begitu peduli pada tetangga kami.

Kuusap air mata yang menetes, membiarkan rindu meluruh mengisi retakan hatiku. Namun jauh jadi teramat jauh. Ternyata Ibuk lah yang telah tiada.[ ]

( 2 )

Gelap mengarsir cakrawala. Gelegar petir membelah malam yang merambat lambat. Serpih angin berpusar tajam menghantam sisi tubuh yang meringkuk menghalau sesak.
Senapan siaga dalam dekap kami semua. Hangat di tanganku yang gemetar menahan pilu, kugenggam kalung berbandul ini. Tanda jejak darimu yang kini kurindu.

Komandan berbisik menghitung, matanya membelalak kepada tiap kami. Kuselipkan kalung itu ke saku dada, dekat ke hatiku: supaya bila kumati, degup terakhir jantung inilah yang kan mencium tanda jejakmu.

Bunyi debum dan ricuh kian nyaring, menyiksa dengar. "Serang! Serang! Sampai titik darah penghabisan!" teriak Komandan.
Kucengkeram senapan dan melesat menyerbu. Kuberlari menebas jarak.

Anakku, derap lariku hanya untukmu, hidupku berdetak untukmu, untuk masa depan tanahmu dan pembebasan kita dari teror penjajah.

Seseorang dari kami melengking membelah sadar. Perih menyayat sanubari. Kakinya menginjak ranjau di tanah itu.

"Pergi!" bentaknya, "mundur!"
Semua bergegas menyingkir. Tapi waktu telah dipicu. Terlambat sudah.

Tanah meledak. Udara koyak. Aku terhempas. Dan segalanya lenyap, dilahap tiada. Kemana semua?

---

Dan kini Hampa membawaku ke tempat yang tidak kukenal. Di sini gelap pekat sekaligus terang benderang. Dingin sekaligus hangat. Asing sekaligus akrab. Kosong sekaligus sesak. Lalu tersibaklah citra, di antara rimbun pepohonan kampungku.

Pita asap semerbak mengudara dari kemenyan yang kauratus di samping makam. Di pipimu mengalir sungai air mata. Kaubiarkan menitik dari tengadahmu.

Dari setangkup tangan, kaugenggam doa. Semoga aku segera pulang dari medan perang di tanah sengketa, melayat Ibukmu. Kabar dari pasukan negara sebatas damba. Tanpa janji ditepati.

Namun sepulangnya ke rumah, di bawah pintu, tergeletak surat belasungkawa, dengan namaku tercetak tebal di sana.

Koyaklah hatiku, Ifan, memandang jarak yang tak sanggup kutempuh.

Nak, kini jauh jadi teramat jauh.

Kutunggu kau di kesempurnaan di balik hubungan jarak jauh, yakni pendekatan yang penuh dari jarak yang selama ini kita bangun, bukan hanya sebagai bapak anak, tapi juga... tentang yang dicipta dengan Sang Pencipta.

( dari Ayahmu )

[ ]

( 3 )

Kau datang. Kau ada, ketika kubutuh hadirmu. Tak mengetahui namamu, namun takdir membisikkan rindu. Tak mengenalmu, tetapi aku ini mendamba segenap jiwa sepenuh hati.

Kala itu gerimis turun menyiram tanah. Berlutut aku menghadap makam kedua orang tuaku yang sengaja dibuat bersebelahan. Tewasnya ayahku di medan perang menyusulkan duka pada luka akibat kepergian ibuku.

Lalu kau menghampiriku dan menaruh payung di atas kita berdua.

"Bisa kau jatuh sakit apabila kehujanan," cetusmu lemah lembut, mengasihaniku.

"Bisa ku sakit apabila dunia tetap memutuskan bungkam," timpalku, dingin.

Mulanya kau seolah akan menertawakanku dan emosiku hendak tersulut, kemudian kau menunduk memandang kedua belah nisan yang kupandangi dengan pilu.

Kau paham akan diamku, mengerti akan muramku, dan melipat lutut di sampingku.

"Kau membutuhkan kehangatan?" tanyamu sederhana, seolah sedang menjajakan dagangan.

"Aku membutuhkan Tuhan. Ia jauh lebih hangat dari api, lebih terang dari api, pun lebih berbahaya dari api."

Keningmu berkerut mengernyit, ngeri mengira aku menghina Sang Maha Mendengar. Aku tertarik untuk menjelaskan maksud perkataan pedasku.

"Kehendak-Nya lebih pasti dari api. Sekali Ia berkehendak, maka lenyaplah segala yang kita miliki di dunia," ungkapku sendu.

Kau menepuk pundakku. Tanpa kau sadari, sentuhan itu memercikkan rasa hingga menyusup menyeluruh ke dalam relung diriku.

"Segala kepunyaan kita di dunia adalah kepunyaan-Nya, tak terkecuali nyawa. Semua berasal dari Dia, oleh Dia, dan kembali pada Dia. Akan tiba saatnya semua akan berpulang ke asalnya."

Jawabanmu sungguh amat membuka pintu yang selama ini kututup. Aku menolehkan kepala dan bertemu pandang dengan sepasang matamu.

"Sebesar apakah Dia yang menampung semua cinta di semesta ini?"

Cinta yang membuatku merasa kehilangan. Juga cinta yang membuatku merasa menemukan. Menemukan dirimu.

"Sebesar cinta itu sendiri," pungkasmu.

Aku terpaku terpukau pikatmu. Kauputuskan untuk mengulurkan tanganmu, berupaya menyeberangi jarak.

"Nama saya Ambar."

Namamu berdenting nyaring dan bergemerincing merdu, darahku bersenandung mendengarnya, Ambar.

Kusambut tanganmu yang halus dan bergelenyar hidup dalam genggamku. Bibirku bergerak, namun hatikulah yang bicara.

"Saya Ifan." Masa depanmu.[ ]

( 4 )

Sepeda berkeriut mengeluh di bawah kayuhanku. Di boncengan belakang, anak itu merentangkan tangan berupaya menggapai semilir angin, berkejaran dengan terpaan semerbak ranum buah di kebun yang kita lalui.

Sewaktu kita melintasi sawah yang tengah dipanen para buruh tani, kau mengandai tengah meluncur terbang bebas. Aku puas hanya dengan menyaksikannya tertawa dalam balutan seragam itu.

Ini hari pertamanya masuk sekolah. Aku membawa sepeda dengan tergesa, tak mau dirinya terlambat.

Kuantar dia sampai gerbang SD, melambai padanya mengucap isyarat sampai jumpa dan hati-hati. Lalu melesat kubergegas ke pabrik tempatku mengais nafkah, memburu jadwal kapal pengangkut ikan tiba di dermaga.

Tiba-tiba orang-orang berteriak-teriak di sepanjang jalan, menunjuk ke langit di utara. Aku menyaksikan dengan tubuh terpancang gentar.

Lihatlah! Satu formasi pesawat berbendera Jepang melintas menggores angkasa, lewat tepat di atas pandanganku. Khalayak berhamburan panik, menyerukan peringatan akan serangan. Mereka berlari tunggang langgang meninggalkan posisi masing-masing. Tidak denganku ini, yang tak bergeming.

Hatiku bagai kena pukul. Serangan? Pesawat? Adakah mereka hanya menumpang lewat? Adakah pesawat itu berisi uang yang akan disebarkan untuk kami? Atau membawa kuntum bunga beraroma memabukkan? Adakah mereka hendak mengobral perdamaian? Adakah mereka wujudkan kemerdekaan bagi kami sekalian?

Tidak, batinku. Adakah peledak membebani rangka besi pesawat-pesawat itu?

Aku memutar arah, bertolak ke sekolah anakku. Kumohon, semoga terkaku meleset dan pikiranku keliru.

Kemudian jantungku serasa berhenti berdetak. Jauh di depanku, sebuah ledakan menyentuh awan. Gemeretak remuk yang dihantarkan bumi menggetarkan tulangku.

Kukayuh sepedaku lebih cepat. Ini sepeda peninggalan Ibuk, yang sering dipakainya pergi bekerja di sawah, lama berselang. Usang namun berharga.

Ketika memasuki daerah rawa, tiba-tiba kakiku kehilangan pijakan. Sepeda macet mendadak dan aku terbanting seketika ke depan, terhempas mencium tanah berbatu.

Aku melompat bangun. Sepeda itu tidak tertolong. Aku memutuskan untuk berlari. Berlari.

Anakku, derap lariku hanya untukmu, hidupku berdetak untukmu. Hiduplah, demi Bapakmu ini, selamatlah dirimu.

Kuangkat tanganku ke dahi yang berdenyut nyeri, memeriksa. Jemariku dijilat basah.
M e r a h. Darah mengalir hangat menuruni wajahku. Tubuhku mengerang. Badanku limbung, menerobos pelukan pepohonan rimbun.

Rawa membuka ke halaman luas tergelar. Langit membentang menyambut. P u t i h. Namun bukan putih sempurna. Asap gelap yang mengudara itu menodainya. Begitu pula aku.

Aku terlambat. Berkerumun ramai sudah mengelilingi reruntuhan sekolah: kini terlahap api yang mencakar angkasa. Orang-orang menahanku supaya tidak bertindak gegabah dengan menerobos lidah menyala.

Aku menjerit membelah jeruji lengan, memanggil namamu. Namun kutahu, aku telah gagal.

Aku rebah lemah ke rerumputan, tersedu sejadi-jadinya. Anakku, Aisah, ada di sana. Hangus terbakar menjadi abu yang membedaki kenanganku, memberi jejak pada luka baruku.

Mereka begitu keji. Merebut seorang anak dari ayahnya. Kaupisahkan kami, membangun tembok tebal di antara kami berdua, sekat yang kami sebut Maut.

[ s e l a ]

Bapak,
Bapak dimana? Aisah takut.

Orang-orang asing itu datang menarikku dari bangku kelas. Mereka merebutku dari Bu Guru yang kepalanya meledak hancur ditembak.

Mereka memisahkanku dari teman-temanku yang menjerit histeris. Namun aku hanya bisa menangis dalam bungkam. Karena aku bisu.

Dan kini mereka membawaku ke tempat yang tidak kukenal. Di sini gelap pekat sekaligus terang benderang. Dingin sekaligus hangat. Asing sekaligus akrab. Diam sekaligus berisik. Kosong sekaligus sesak.

Aisah memang sedang terbang, Pak, hanya saja tanpa sayap. Tapi seram ternyata, sebab sendirian.

( putrimu )

[ ]

( 5 )

Jauh. Raga saling menghadap, jemari saling menjalin, nafas saling menyentuh. Namun kamu serasa jauh, tak terselami. Dekat sekaligus terpisah.

Jauh. Menatap kejauhan yang tak kupahami, pikiran melayang menuju entah kemana. Ingin kujemput kau pulang ke dekapan ini, yang sekian lama goyah tapi tetap hangat tuk merengkuhmu.

Kusambut pilu tiap deru nafasmu. Kuhitung denyut nadimu. Sebanyak itulah rindu mengiris. Sebanyak itu pula kau merindukan dirinya.

Aku tak sanggup cemburu pada sikapmu. Aku hanya bisa sedih ditimpa perlakuanmu. Oh, bagilah deritamu itu, Ambar. Biarlah kunikmati siksa yang menderamu bagai badai padang gurun, yang mengusutkan akalmu, yang menguras jiwamu hingga kering kerontang. Namun, bila pasrah kuturut hilang bersamamu, maka siapa yang akan mengurus dirimu?

Sudah setahun putri semata wayang kita dikubur ke liang kosong. Tiap siang, kau berdiri di lapangan itu, tempat gedung sekolah pernah berdiri sebelum dibumihanguskan oleh Jepang, berikut Aisah kita.

Tiap hari, kau menanti dia tiba di ambang pintu. Namun sudah setahun pula terus kutegaskan kaki mungilnya takkan menjejak lagi di rumah ini. Kau menolak sepakat. Kau memilih patuh pada harapan palsu.

"Oh Ambar, tahukah kau," gumamku mengusap parasmu yang hampa, "aku ada di sini? Selalu."

Kau menjawab lewat tetes air mata.

Kukenang kala kau tersedu di akad nikah kita, yang dilaksanakan tergesa: dihantui waspada kalau-kalau diserbu musuh, habis tamat. Aku tegar berseteru dengan kenangan masa lalu. Kau memilih kalah.

"Oh, Ambar, ingatkah kau," serangku, memaksamu memperhatikanku, "akan janjimu lama berselang?"

Kabut mengetuk jendela di bawah siraman purnama, kau pernah mengumbar ikrar:
"Aku akan terus bersamamu, dalam senang maupun sedih, dalam untung maupun malang, dalam bugar maupun sakit, sampai maut memisahkan." Demikian. Sekian.

Kini kau memilih ingkar, melanggar ucapmu sendiri: meninggalkan aku bersanding dengan ragamu, jauh dari jiwamu.

Kau memperkenankan ikatanmu dengan dunia ini pudar, lenyap bersama kewarasanmu. Hadirku selalu ada di balik sadarmu. Harapku teronggok di putus asamu.

"Ambar," kuketuk pintu benakmu, "masihkah kau di sana?"

Yang kuterima hanya diam. Aku diselimuti hening pekat. Meski bom jatuh menghantam Hiroshima, tak pun kurasa gaungnya.[ ]

( 6 )
P u n g k a s a n

Kubiarkan kabar itu meresap,  meluruh menyelimuti pahamku. Akal menolak mengerti, namun nuraniku muak pada stagnasi ini, menentang diamnya Tuhan perihal hak bangsa ini.

Bila kabar itu benar, maka perjuangan kami tidak sia-sia. Perjuangan ayah di medan pertempuran. Atau ibuk yang berjuang membekaliku ilmu di semesta keji ini. Atau soal nasib keluargaku sendiri di ruang bernama takdir ini.

Aku memeluk pigura yang membingkai foto Ambar tengah memangku Aisah. Hampir sepekan, ia diketemukan tiada dengan pisau dapur menancap tegak di dadanya, sementara aku sedang beroperasi di bawah tanah. Air mataku menitik.

Dikabarkan, pagi tadi, Soekarno berdiri di serambi rumahnya untuk membacakan Proklamasi. Kami sudah merdeka? Hatiku menyerukan syukur pada Sang Ilahi. Segalanya indah tepat pada waktunya.

[ s e l a ]

Usiaku kira-kira 72 tahun kini.

Indonesia telah lama merdeka. Segala pihak sedang gencar mempertahankan kemerdekaan tersebut.

Aku duduk termenung, menyeruput teh yang kuseduh sendiri. Cangkir bergemeretak di jemari ringkihku. Cahaya petang menyorot tempatku mendekam renta. Bayangan berkelebat menghalangi sinar di lantai. Kutengadah.

Kau berdiri di sana, memanggil, "Bapak."
Aku hanya bisa diam terpaku, pipiku basah. Ambar menantimu. Istriku terkasih menunggumu selalu untuk kembali melewati pintu itu. Dan aku menentangnya?

"Bapak," kau bersimpuh di kakiku, dahimu menyentuh lututku. "Aisah pulang." Air matamu membasuh tubuh rentaku.

"Kau sudah besar, nak," kuelus rambutnya.

Lalu kau bercerita. Bagaimana kau diculik dari sekolahmu waktu itu bersama sejumlah anak lain, dan dibawa terbang oleh tentara Jepang entah kemana. Bagaimana kau dijadikan budak, dipaksa menghibur mereka.

"Ampuni bapak, nak," kukecup keningnya.

Kini kau pulang, setelah kami mengira kau telah pergi selamanya dari kami. Bahkan kau membawa seorang lelaki bersamamu, dengan cincin emas melingkar di jemarinya dan jemarimu. Lalu mataku memandang hadirnya, anak kecil tampan itu. Kudengar bisiknya.

"Halo kakek, namaku Ifan."

Dan kemerdekanku utuh. [titik]

(Agustus 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar