Rabu, 02 November 2016

Anak yang Hilang ( sebuah cerita pendek )

ANAK YANG HILANG
( Satu Menit Menjelang Tengah Malam )

karya Mikael Qamara Erlambang
X TJA 3 | SMK Telkom Purwokerto
Purwokerto, 28 Oktober 2016

< pesan diterima > 10/11/16  00:45

Salam Saudaraku yang terkasih,

Sepertinya tidak ada yang salah dengan salam itu. Begitukah? Ayolah, sebab kita sama-sama percaya bila kasih adalah hukum yang terutama. Kasih inilah yang menjadikan kita ada dan mempersatukan yang ada, memberi kemerdekaan dan kebebasan, menjaga perdamaian dan keteraturan, mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran. Kita pun sama-sama sadar ancaman melanda negeri kita detik ini. Ini satu menit menjelang tengah malam...

Aku ingin bercerita sebuah kisah padamu, berkaitan dengan yang sedang kita hadapi. Kenalanku seorang guru konseling. Dia datang beberapa hari silam, berbagi pengalaman mengesankan, mendesak diriku mengirim surel ini kepadamu. Ini catatan kasusnya, supaya biar kau simpulkan sendiri baik buruknya. [ ]

[ Lampiran I. ]
CATATAN KASUS:
11 Feb ‘16
Tertanda    : Nur Divya Adistya, S.Psi

Tegar Sempati (kelas IX-C) dipanggil ke ruang BK atas pelanggaran: berperilaku tidak hormat saat upacara pengibaran bendera tengah berlangsung. Pelanggaran ke-9 dalam sebulan terakhir. Dengan ini akan diadakan konsultasi tim kedisiplinan & mengundang orang tua/wali murid untuk hadir. [ ]

Kau lihat? Anak bernama Tegar ini mewakili sebagian besar anak muda zaman sekarang. Ketiadaan hormat pada jasa para pahlawan, apalagi nasionalisme dan patriotisme. Sifat berkebangsaan mereka luntur seiring berlalunya waktu. “Ini zaman modern, bung,” sembur mereka tanpa pikir panjang. “Bukan hal penting selama kami punya peralatan canggih keluaran terbaru. Selama ada teknologi dan uang kami hidup.” Sungguh tragis!

Itu hanya satu contoh dari sekitar 60 catatan kasus anak itu. Aku hampir menyuruh Nur pulang daripada aku makin terpuruk dalam kecewa terhadap generasi ini, sewaktu ia berbicara,

“Tunggu dulu,” sergahnya. “Cerita baru akan dimulai. Tirai baru saja dibuka.” Maka Nur menyerahkan sebundel kertas berisi tulisan tangan. “Bocah yang sama menulis ini. Bacalah.” Dengan rasa penasaran, kuberanikan diri membalik halaman sampul. [ ]

[ Lampiran II. ]

PENGLIHATANKU ” (cipt. Tegar Sempati)

Aku terbangun oleh debur ombak membentur bebatuan karang. Aku terduduk tegak, merasakan bobot selimut merosot ke bawah, semilir angin sejuk bertiup menerpa, menusuk menembus piyama tipisku. Kutebar pandang lewat jendela yang dibasahi embun pagi, matahari bundar merah menggantung rendah di atas cakrawala. Aku memalingkan wajah saat pantulan silau pada permukaan laut membutakan mataku.

Kemudian kusadar aku bangun di tempat yang keliru. Aku tidak tinggal di pantai atau dekat aliran air manapun. Diserang panik, aku langsung berlari menghampiri pintu, tepat ketika lantai keramik berkarpet lenyap dari bawah telapak kakiku, berganti hamparan pasir halus seputih salju. Aku melihat sekeliling. Ini semenanjung kosong, tanpa rumah, kamar, bahkan ranjangku. Ini bukan mimpi, kuyakin karena kulitku tersengat panas surya nyaris tenggelam. Waktu berjalan aneh di sini.

Sore datang bersama sebuah bayangan besar yang menaungi dimana aku berdiri. Bayangan itu menghalangi kerlip terakhir senja lalu menukik turun dan akhirnya mendarat di depanku. Rembulan bersinar menerangi sosok agung tersebut. Di bawah siraman cahaya purnama, bulu-bulunya terpampang nyata nan tegas: 17 helai bulu pada masing-masing sayap, 8 helai bulu pada ekor, 19 helai bulu di pangkal ekor, serta 45 helai bulu di leher. Kutahu, 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Indonesia. Hari yang seperti banyak hari lainnya patut diperingati, rayakan, resapi maknanya. Kuangkat pandang.

Sosok Garuda, berasal dari mitologi dalam sejarah Indonesia, yakni kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Selain menunjukkan perihal sejarah amatlah berarti dan berguna bagi kehidupan di masa mendatang sebagai pemacu dan acuan, Garuda digunakan untuk menggambarkan bangsa yang besar nan kuat. Apakah aku sadar tentang nasib negeriku sekarang? Apakah Garuda masih kurentangkan sayapnya, yang membela sejarah, yang menjamin hari esok?

Paruh, sayap, ekor, serta cakar. Kuat dan kokoh, lambang tenaga pembangunan nasional. Kutahu yang dimaksud bukan hanya bangunan fisik, melainkan pula pembangunan kesejahteraan, kemakmuran, pendidikan, dan moral bangsa ini, pembangunan yang merata dan menyeluruh. Oh, bahkan aku sendiri tak cukup teguh untuk bertahan, tidak tersungkur di hadapan lukisan kenyataan pada kanvas kehidupan.

Matahari terbit lagi, mempertegas warna emas berkemilau menyelimuti burung Garuda, perlambang keagungan dan kejayaan. Apakah bangsa ini masih mempertahankan keagungan dalam hikmat dan kebijaksanaan, bukan hanya menggali harta dan kemapanan pribadi, mencari kenikmatan duniawi yang maha tak manusiawi? Apakah aku mampu, dengan tubuh rapuh dan berdosa ini, mengerti dan paham definisi Jaya yang sesungguhnya: bukan sekadar sukses dalam profesi dan unggul dalam prestasi, namun dalam wawasan, hati nurani juga iman.

Aku rebah dan menangis, larut dalam sedih, berkabung bersama pedih, tak sanggup menghadapi sengsara dan siksa realita. Kutatap lagi sang Garuda, sontak terkejut bukan main.

Banyak sosok menyerang sang Garuda. Mereka menembak dengan peluru layaknya penjajah dahulu kala: membuatku sadar bahwa kita masih dijajah, bukan dengan teknik lampau  serba kuno melainkan taktik cemerlang selicik hasutan ular dan seganas terkaman pemangsa. Mereka menusuk dengan pedang bertatahkan permata: membuatku sadar bahwa perbudakan masih merajalela dalam kediktatoran dan kesenjangan sosial.

Mereka yang bertopeng kemunafikan melukai Sang Garuda secara sembunyi-sembunyi dan perlahan tapi pasti. Busur melengkung melepas anak-anak panah para pemburu. Para koruptor menguras, menggerogoti, merampas emas dari raga sang Garuda. Kejayaan dan kekuatan sang Garuda diremukkan oleh ketidakpedulian dan ketidaktaatan. Akan tetapi sang Garuda tetap bertahan, terus berjuang, mempertahankan perisai di dadanya dan pita dalam cengkeramannya.

Terbakar segenap keberanian dan kekuatan yang menggelegak liar, aku berderap maju, menuju sang Garuda. Akulah patriotmu, aku berseru lantang menantang betapa digdayanya upaya perenggutan kuasa sang Garuda, akulah pendukungmu, yang setia berkorban untukmu.

Aku menyingkirkan orang-orang yang berusaha merobek pita dalam cengkeram Garuda. Kusaksikan sendiri pita putih itu telah koyak di beberapa tempat, tetapi masih dapat kubaca tulisan yang tertera di atasnya: Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya tetap adalah satu kesatuan, itulah artinya. Apakah semboyan itu masih berjalan, di antara pusparagam bangsa Indonesia? Masihkah persatuan dan kesatuan dijunjung dengan menghargai beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, bukannya memecah belah dan menyulut retak pada keutuhan negeri kaya ini?

Aku menengadah melihat kepala sang Garuda menoleh ke kanan. Ke arah Barat, tatkala matahari baru saja tenggelam, sisakan jejak pendar di angkasa bertabur bintang. Tiba-tiba sang Garuda membawaku terbang meninggalkan tempat itu.

Sang Garuda terbang kian lama kian tinggi. Begitulah impian dan harapan kita seharusnya, generasi penerus bangsa, terus melejit bersama mimpi, dan menebar inspirasi bagai sepasukan tombak pelangi.

Suatu bintang kuning maha besar menerangi jagad raya dan seluruh isinya, memberi kehidupan, membagikan penerangan dan pencerahan, menyingkap kelam. Itulah kuasa Cahaya yang tak mungkin dikalahkan kegelapan manapun, asalkan kita bersedia menjaganya tetap menyala dalam hati kita, menjaganya dengan tali iman dan ikat taqwa. Aku beringsut mendekat guna melihat bentuknya lebih jelas. Bintang itu mempunyai lima titik cahaya terang yang masing-masing berbeda jalurnya namun sama asal dan tujuannya. Kemudian Garuda membawaku ke tempat lain.

Garuda membawaku ke langit senja senyala kobar api. Di hadapanku tergeletak tali rantai bermata bulat dan persegi terbuat dari emas. Di bawah rantai itu berkumpul manusia diliputi kasih dan didasari rasa kemanusiaan antar sesama. Mereka bersekutu dengan sangat tertib, berjalan beriringan dipandu keadilan. Segala tindak tanduk, tata perilaku, tutur kata, sopan santun bersumber atas adat dan adab yang berlaku.

Kemudian pergilah aku ke langit siang yang seputih kapas dan sebersih awan. Berdirilah pohon beringin yang rindang daunnya dan akar gantungnya terjulur melambai merindukan tanah. Di bawahnya bernaung manusia dari berbagai latar belakang. Mereka bersatu dalam Indonesia. Mereka bertekun dalam puji syukur atas perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dan menganggap perbedaan bukanlah sesuatu yang pantas dibuang bahkan diremehkan, melainkan untuk saling melengkapi satu sama lain, menjadi sempurna dalam satu kesatuan utuh.

Tampaklah sebentuk kepala banteng hitam berlatar lautan semerah darah. Tanduknya melengkung mencium ketinggian, dan di puncaknya duduk para wakil rakyat yang memimpin dengan penuh hikmat dan bijak lestari. Di bawah moncong sang banteng, rakyat duduk bersama, bersatu padu mencari mufakat, berupaya menentukan pilihan yang terbaik untuk negeri ini.

Adapun aku dibawa ke dataran putih untuk melihat rupa terakhir: setangkai padi dan kapas. Di sekeliling padi dan kapas itu seluruh tumpah darah Indonesia, dari yang tua maupun muda, dari yang kaya atau miskin, dari yang rendah jabatannya hingga yang paling tinggi: tanpa membedakan status sosial. Mereka bongkar sekat apapun, saling berbagi pangan dan sandang dengan orang di samping mereka, sampai setiap orang merasa kenyang dan tidak kedinginan lagi. Akan tetap bukan hanya pemenuh kebutuhan primer yang mereka bagikan, tetapi juga kemakmuran, keceriaan, kelegaan, kasih, sukacita dan damai sejahtera.

Alhasil sang Garuda mengajakku turun. Kutatap perisai di dadanya. Perisai sebagai senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai suatu tujuan. Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa: Indonesiaku Zambrud Khatulistiwa, permata hijau yang berkemilau. Pada perisai itu terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan bintang bersudut lima di tengah perisai; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan tali rantai di bagian kiri bawah perisai; Persatuan Indonesia dilambangkan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.

Setelah matahari terbenam, kubalikkan badan. Tergelar permadani hutan hijau yang gundul dan hangus terbakar di mana-mana. Serpih asap beracun memenuhi udara dengan polusi. Setiap ruang sesak oleh jiwa-jiwa rusak dan perusak.

Ada pula sang Ibu yang menangis menyaksikan kini Anak yang dikenalnya telah hilang entah kemana. Air mata berlinang, hinggap di tanah memunculkan tunas-tunas baru. Kulihat sebuah generasi tumbuh, berusaha memukul hancur penaklukan atas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kulihat sebuah kebangkitan baru datang dari balik gerbang awan api. Sang Ibu menuai hasil taburannya. Anak yang Hilang akan kembali berpulang dan membela Ibu.

Andai kupunya waktu lebih lama. Sejenak tuk menghapus air mata Ibu Pertiwi dengan jemari mungilku. Sejenak tuk panjatkan doa, meminta kepada Sang Ilahi, supaya ini bukan hanya mimpi belaka yang akan sirna sia-sia. Kitalah penentunya. Kita punya waktu. Ini satu menit menjelang tengah malam. Hari baru menanti. Kita bisa menjumpai cita yang menjadi nyata atau asa yang jadi percuma. Kitalah yang menentukannya, wahai saudaraku. [ ]

Saudaraku yang terkasih? Nur mengaku anak ini sama sekali tidak pandai dalam bidang sastra—bahkan dalam pelajaran apapun sebenarnya. Lalu bagaimana bocah ini mampu menulis kisah tersebut? Mau dengar yang lebih mencengangkan? Anak ini mengalami perubahan sikap secara drastis. Ia selalu mengikuti upacara dengan khidmat, menggalang semangat kawan-kawannya untuk berpartisipasi aktif di setiap peringatan nasional. Hebatnya, ia memperoleh peringkat 1 Ujian Nasional di kabupaten.

“Ini bisa dibilang keajaiban, mas,” ucap Nur. Wanita itu menangis saat berkata kepadaku, “Anak yang Hilang telah ditemukan kembali. Dia pergi menelusuri jalan yang salah selama itu, lalu kembali ke pelukan sang Ibu. Dia pulang serta bermaksud membalas kekurangannya di masa lalu dengan membanggakan kami dan mengharumkan nama bangsa.”

Tegar dijadwalkan berpidato mewakili Perkumpulan Generasi Kerja di Istana Negara siang nanti. Barangkali kita bisa minta bantuannya. Generasi muda membutuhkan teladan dari langkah yang diambilnya. Mengutip kata-kata Tegar dalam kisahnya: “Ini satu menit menjelang tengah malam.”

Waktu adalah serangkaian pola tak terjamah. Pilihan adalah penentu sejarah. Marilah menyatakan tanpa resah. Dahulu kita melangkah penuh penantian. Merajut doa dan harapan. Masa baru di hadapan. Menjelma suatu perubahan. Esok adalah kabut gelap. Tak sanggup disingkap. Hanya kebijaksanaan yang meresap. Satukan tekadmu, bangsa Garudaku.

Yudhistira Matarishvan Pratedja
[ pesan selesai ]


< pesan terkirim > 10/11/16  10.10

Tolong batalkan semua janji temu. Aku tahu ini mendadak dan aku tahu betapa banyak keluhan yang bakal kauterima, tapi ini tidak bisa ditunda.
Aku sedang menuntaskan sebuah janji. Janji ini lebih penting dibandingkan sejuta janjiku yang lain. Aku mau berbagi sebuah cerita pada banyak orang. Itu salah satu janjiku. Intinya, akan kuabdikan diriku untuk menepati janjiku pada tanah air tercinta, tumpah darahku, Indonesia.

Mikael Q. Erl [ selesai ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar