Sabtu, 17 Agustus 2019

JAUH, sebuah cerita pendek

JAUH

Karya Mikael Qamara Erlambang

(1)

Dengung bohlam bergelantung, menyorot buku di pangkuan. Uap mengepul dari mangkuk, disertai aroma yang menguar.

Aku memasukkan catatan ke dalam tas yang sarat tambal jahitan. Jemari kurusku mengelus lambat tas yang menemani nyaris genap setahun menuntut ilmu di kota orang.

Kuseruput kuah asin mie, menyogok perut yang meronta lapar sejak belajar tadi malam. Ayam tetangga berkokok menyambut subuh yang timbul di sela rimbun pencakar langit. Lalu aku bersimpuh di sajadah, tak lupa menyelipkan doa untuk Ibuk di kampung.

---

Ibuk di kampung, meletakkan kitab di meja makan yang kosong. Bertengger duduk dia di bawah jendela. Rumah ini selalu sepi tanpa hadirnya ananda yang lama tak berpulang.

Ibuk meremas sendi badannya yang mengerang, merindukan rehat. Di bawah terpaan syahdu kumandang adzan, dianyamnya doa untuk putra tersayang.

Tertatih, karung goni yang nantinya diisi berkilo padi disampirkan mengelilingi punggung rentanya, dan dikayuhnya sepeda butut itu, bertelanjang kaki, ke sawah kampung sebelah. Jauh.

---

"Mikir Ibu?"

Aku tersadar dari lamunan, mendongak. Abang kantin, tempatku banyak berutang, menerka tepat sasaran, seperti biasa. Aku hanya bisa mengangguk. Tepukannya di pundak terasa hangat.

"Ibumu pasti bangga sama kamu. Makan yang banyak, sehat terus, Fan."

Aku malah akhirnya hanya mengamati lekat makanan di hadapanku, tak kusentuh meski lapar. Terpikir Ibuk di rumah. Sudah makan, belum? Sehatkah beliau? Andai bisa dibagi masakan ini.

"Pulang kampung, Fan?" tanya beliau.

"Rencana abis Ujian, bang. Kumpulin uang dulu."

"Kumpul prestasi juga, pulang banggakan Ibu. Titip salam."

Waktu berjalan, kubongkar celengan, menghitung tabungan isi recehan itu. Syukur, cukuplah buat ongkos.

"Ibuk pasti senang," batinku.

Kugenggam erat raport hasil usaha kerasku.

Derum ban menggores aspal, gerung mesin memacu bus meninggalkan terminal kota yang masih sepi. Aku mengedar pandang ke panorama yang berkelebat lewat, kabur oleh kabut pagi dan kecepatan.

Aku melompat turun di batas kampung. Sepatuku memijak kembali jalan berbatu itu. Bendera putih terikat, berkelepak di tugu selamat datang.

Wah, siapa yang meninggal, pikirku. Ibuk pasti tengah sibuk membantu keluarga yang sedang berduka. Aku sangat mengenal sifat Ibuk yang begitu peduli pada tetangga kami.

Kuusap air mata yang menetes, membiarkan rindu meluruh mengisi retakan hatiku. Namun jauh jadi teramat jauh. Ternyata Ibuk lah yang telah tiada.[ ]

( 2 )

Gelap mengarsir cakrawala. Gelegar petir membelah malam yang merambat lambat. Serpih angin berpusar tajam menghantam sisi tubuh yang meringkuk menghalau sesak.
Senapan siaga dalam dekap kami semua. Hangat di tanganku yang gemetar menahan pilu, kugenggam kalung berbandul ini. Tanda jejak darimu yang kini kurindu.

Komandan berbisik menghitung, matanya membelalak kepada tiap kami. Kuselipkan kalung itu ke saku dada, dekat ke hatiku: supaya bila kumati, degup terakhir jantung inilah yang kan mencium tanda jejakmu.

Bunyi debum dan ricuh kian nyaring, menyiksa dengar. "Serang! Serang! Sampai titik darah penghabisan!" teriak Komandan.
Kucengkeram senapan dan melesat menyerbu. Kuberlari menebas jarak.

Anakku, derap lariku hanya untukmu, hidupku berdetak untukmu, untuk masa depan tanahmu dan pembebasan kita dari teror penjajah.

Seseorang dari kami melengking membelah sadar. Perih menyayat sanubari. Kakinya menginjak ranjau di tanah itu.

"Pergi!" bentaknya, "mundur!"
Semua bergegas menyingkir. Tapi waktu telah dipicu. Terlambat sudah.

Tanah meledak. Udara koyak. Aku terhempas. Dan segalanya lenyap, dilahap tiada. Kemana semua?

---

Dan kini Hampa membawaku ke tempat yang tidak kukenal. Di sini gelap pekat sekaligus terang benderang. Dingin sekaligus hangat. Asing sekaligus akrab. Kosong sekaligus sesak. Lalu tersibaklah citra, di antara rimbun pepohonan kampungku.

Pita asap semerbak mengudara dari kemenyan yang kauratus di samping makam. Di pipimu mengalir sungai air mata. Kaubiarkan menitik dari tengadahmu.

Dari setangkup tangan, kaugenggam doa. Semoga aku segera pulang dari medan perang di tanah sengketa, melayat Ibukmu. Kabar dari pasukan negara sebatas damba. Tanpa janji ditepati.

Namun sepulangnya ke rumah, di bawah pintu, tergeletak surat belasungkawa, dengan namaku tercetak tebal di sana.

Koyaklah hatiku, Ifan, memandang jarak yang tak sanggup kutempuh.

Nak, kini jauh jadi teramat jauh.

Kutunggu kau di kesempurnaan di balik hubungan jarak jauh, yakni pendekatan yang penuh dari jarak yang selama ini kita bangun, bukan hanya sebagai bapak anak, tapi juga... tentang yang dicipta dengan Sang Pencipta.

( dari Ayahmu )

[ ]

( 3 )

Kau datang. Kau ada, ketika kubutuh hadirmu. Tak mengetahui namamu, namun takdir membisikkan rindu. Tak mengenalmu, tetapi aku ini mendamba segenap jiwa sepenuh hati.

Kala itu gerimis turun menyiram tanah. Berlutut aku menghadap makam kedua orang tuaku yang sengaja dibuat bersebelahan. Tewasnya ayahku di medan perang menyusulkan duka pada luka akibat kepergian ibuku.

Lalu kau menghampiriku dan menaruh payung di atas kita berdua.

"Bisa kau jatuh sakit apabila kehujanan," cetusmu lemah lembut, mengasihaniku.

"Bisa ku sakit apabila dunia tetap memutuskan bungkam," timpalku, dingin.

Mulanya kau seolah akan menertawakanku dan emosiku hendak tersulut, kemudian kau menunduk memandang kedua belah nisan yang kupandangi dengan pilu.

Kau paham akan diamku, mengerti akan muramku, dan melipat lutut di sampingku.

"Kau membutuhkan kehangatan?" tanyamu sederhana, seolah sedang menjajakan dagangan.

"Aku membutuhkan Tuhan. Ia jauh lebih hangat dari api, lebih terang dari api, pun lebih berbahaya dari api."

Keningmu berkerut mengernyit, ngeri mengira aku menghina Sang Maha Mendengar. Aku tertarik untuk menjelaskan maksud perkataan pedasku.

"Kehendak-Nya lebih pasti dari api. Sekali Ia berkehendak, maka lenyaplah segala yang kita miliki di dunia," ungkapku sendu.

Kau menepuk pundakku. Tanpa kau sadari, sentuhan itu memercikkan rasa hingga menyusup menyeluruh ke dalam relung diriku.

"Segala kepunyaan kita di dunia adalah kepunyaan-Nya, tak terkecuali nyawa. Semua berasal dari Dia, oleh Dia, dan kembali pada Dia. Akan tiba saatnya semua akan berpulang ke asalnya."

Jawabanmu sungguh amat membuka pintu yang selama ini kututup. Aku menolehkan kepala dan bertemu pandang dengan sepasang matamu.

"Sebesar apakah Dia yang menampung semua cinta di semesta ini?"

Cinta yang membuatku merasa kehilangan. Juga cinta yang membuatku merasa menemukan. Menemukan dirimu.

"Sebesar cinta itu sendiri," pungkasmu.

Aku terpaku terpukau pikatmu. Kauputuskan untuk mengulurkan tanganmu, berupaya menyeberangi jarak.

"Nama saya Ambar."

Namamu berdenting nyaring dan bergemerincing merdu, darahku bersenandung mendengarnya, Ambar.

Kusambut tanganmu yang halus dan bergelenyar hidup dalam genggamku. Bibirku bergerak, namun hatikulah yang bicara.

"Saya Ifan." Masa depanmu.[ ]

( 4 )

Sepeda berkeriut mengeluh di bawah kayuhanku. Di boncengan belakang, anak itu merentangkan tangan berupaya menggapai semilir angin, berkejaran dengan terpaan semerbak ranum buah di kebun yang kita lalui.

Sewaktu kita melintasi sawah yang tengah dipanen para buruh tani, kau mengandai tengah meluncur terbang bebas. Aku puas hanya dengan menyaksikannya tertawa dalam balutan seragam itu.

Ini hari pertamanya masuk sekolah. Aku membawa sepeda dengan tergesa, tak mau dirinya terlambat.

Kuantar dia sampai gerbang SD, melambai padanya mengucap isyarat sampai jumpa dan hati-hati. Lalu melesat kubergegas ke pabrik tempatku mengais nafkah, memburu jadwal kapal pengangkut ikan tiba di dermaga.

Tiba-tiba orang-orang berteriak-teriak di sepanjang jalan, menunjuk ke langit di utara. Aku menyaksikan dengan tubuh terpancang gentar.

Lihatlah! Satu formasi pesawat berbendera Jepang melintas menggores angkasa, lewat tepat di atas pandanganku. Khalayak berhamburan panik, menyerukan peringatan akan serangan. Mereka berlari tunggang langgang meninggalkan posisi masing-masing. Tidak denganku ini, yang tak bergeming.

Hatiku bagai kena pukul. Serangan? Pesawat? Adakah mereka hanya menumpang lewat? Adakah pesawat itu berisi uang yang akan disebarkan untuk kami? Atau membawa kuntum bunga beraroma memabukkan? Adakah mereka hendak mengobral perdamaian? Adakah mereka wujudkan kemerdekaan bagi kami sekalian?

Tidak, batinku. Adakah peledak membebani rangka besi pesawat-pesawat itu?

Aku memutar arah, bertolak ke sekolah anakku. Kumohon, semoga terkaku meleset dan pikiranku keliru.

Kemudian jantungku serasa berhenti berdetak. Jauh di depanku, sebuah ledakan menyentuh awan. Gemeretak remuk yang dihantarkan bumi menggetarkan tulangku.

Kukayuh sepedaku lebih cepat. Ini sepeda peninggalan Ibuk, yang sering dipakainya pergi bekerja di sawah, lama berselang. Usang namun berharga.

Ketika memasuki daerah rawa, tiba-tiba kakiku kehilangan pijakan. Sepeda macet mendadak dan aku terbanting seketika ke depan, terhempas mencium tanah berbatu.

Aku melompat bangun. Sepeda itu tidak tertolong. Aku memutuskan untuk berlari. Berlari.

Anakku, derap lariku hanya untukmu, hidupku berdetak untukmu. Hiduplah, demi Bapakmu ini, selamatlah dirimu.

Kuangkat tanganku ke dahi yang berdenyut nyeri, memeriksa. Jemariku dijilat basah.
M e r a h. Darah mengalir hangat menuruni wajahku. Tubuhku mengerang. Badanku limbung, menerobos pelukan pepohonan rimbun.

Rawa membuka ke halaman luas tergelar. Langit membentang menyambut. P u t i h. Namun bukan putih sempurna. Asap gelap yang mengudara itu menodainya. Begitu pula aku.

Aku terlambat. Berkerumun ramai sudah mengelilingi reruntuhan sekolah: kini terlahap api yang mencakar angkasa. Orang-orang menahanku supaya tidak bertindak gegabah dengan menerobos lidah menyala.

Aku menjerit membelah jeruji lengan, memanggil namamu. Namun kutahu, aku telah gagal.

Aku rebah lemah ke rerumputan, tersedu sejadi-jadinya. Anakku, Aisah, ada di sana. Hangus terbakar menjadi abu yang membedaki kenanganku, memberi jejak pada luka baruku.

Mereka begitu keji. Merebut seorang anak dari ayahnya. Kaupisahkan kami, membangun tembok tebal di antara kami berdua, sekat yang kami sebut Maut.

[ s e l a ]

Bapak,
Bapak dimana? Aisah takut.

Orang-orang asing itu datang menarikku dari bangku kelas. Mereka merebutku dari Bu Guru yang kepalanya meledak hancur ditembak.

Mereka memisahkanku dari teman-temanku yang menjerit histeris. Namun aku hanya bisa menangis dalam bungkam. Karena aku bisu.

Dan kini mereka membawaku ke tempat yang tidak kukenal. Di sini gelap pekat sekaligus terang benderang. Dingin sekaligus hangat. Asing sekaligus akrab. Diam sekaligus berisik. Kosong sekaligus sesak.

Aisah memang sedang terbang, Pak, hanya saja tanpa sayap. Tapi seram ternyata, sebab sendirian.

( putrimu )

[ ]

( 5 )

Jauh. Raga saling menghadap, jemari saling menjalin, nafas saling menyentuh. Namun kamu serasa jauh, tak terselami. Dekat sekaligus terpisah.

Jauh. Menatap kejauhan yang tak kupahami, pikiran melayang menuju entah kemana. Ingin kujemput kau pulang ke dekapan ini, yang sekian lama goyah tapi tetap hangat tuk merengkuhmu.

Kusambut pilu tiap deru nafasmu. Kuhitung denyut nadimu. Sebanyak itulah rindu mengiris. Sebanyak itu pula kau merindukan dirinya.

Aku tak sanggup cemburu pada sikapmu. Aku hanya bisa sedih ditimpa perlakuanmu. Oh, bagilah deritamu itu, Ambar. Biarlah kunikmati siksa yang menderamu bagai badai padang gurun, yang mengusutkan akalmu, yang menguras jiwamu hingga kering kerontang. Namun, bila pasrah kuturut hilang bersamamu, maka siapa yang akan mengurus dirimu?

Sudah setahun putri semata wayang kita dikubur ke liang kosong. Tiap siang, kau berdiri di lapangan itu, tempat gedung sekolah pernah berdiri sebelum dibumihanguskan oleh Jepang, berikut Aisah kita.

Tiap hari, kau menanti dia tiba di ambang pintu. Namun sudah setahun pula terus kutegaskan kaki mungilnya takkan menjejak lagi di rumah ini. Kau menolak sepakat. Kau memilih patuh pada harapan palsu.

"Oh Ambar, tahukah kau," gumamku mengusap parasmu yang hampa, "aku ada di sini? Selalu."

Kau menjawab lewat tetes air mata.

Kukenang kala kau tersedu di akad nikah kita, yang dilaksanakan tergesa: dihantui waspada kalau-kalau diserbu musuh, habis tamat. Aku tegar berseteru dengan kenangan masa lalu. Kau memilih kalah.

"Oh, Ambar, ingatkah kau," serangku, memaksamu memperhatikanku, "akan janjimu lama berselang?"

Kabut mengetuk jendela di bawah siraman purnama, kau pernah mengumbar ikrar:
"Aku akan terus bersamamu, dalam senang maupun sedih, dalam untung maupun malang, dalam bugar maupun sakit, sampai maut memisahkan." Demikian. Sekian.

Kini kau memilih ingkar, melanggar ucapmu sendiri: meninggalkan aku bersanding dengan ragamu, jauh dari jiwamu.

Kau memperkenankan ikatanmu dengan dunia ini pudar, lenyap bersama kewarasanmu. Hadirku selalu ada di balik sadarmu. Harapku teronggok di putus asamu.

"Ambar," kuketuk pintu benakmu, "masihkah kau di sana?"

Yang kuterima hanya diam. Aku diselimuti hening pekat. Meski bom jatuh menghantam Hiroshima, tak pun kurasa gaungnya.[ ]

( 6 )
P u n g k a s a n

Kubiarkan kabar itu meresap,  meluruh menyelimuti pahamku. Akal menolak mengerti, namun nuraniku muak pada stagnasi ini, menentang diamnya Tuhan perihal hak bangsa ini.

Bila kabar itu benar, maka perjuangan kami tidak sia-sia. Perjuangan ayah di medan pertempuran. Atau ibuk yang berjuang membekaliku ilmu di semesta keji ini. Atau soal nasib keluargaku sendiri di ruang bernama takdir ini.

Aku memeluk pigura yang membingkai foto Ambar tengah memangku Aisah. Hampir sepekan, ia diketemukan tiada dengan pisau dapur menancap tegak di dadanya, sementara aku sedang beroperasi di bawah tanah. Air mataku menitik.

Dikabarkan, pagi tadi, Soekarno berdiri di serambi rumahnya untuk membacakan Proklamasi. Kami sudah merdeka? Hatiku menyerukan syukur pada Sang Ilahi. Segalanya indah tepat pada waktunya.

[ s e l a ]

Usiaku kira-kira 72 tahun kini.

Indonesia telah lama merdeka. Segala pihak sedang gencar mempertahankan kemerdekaan tersebut.

Aku duduk termenung, menyeruput teh yang kuseduh sendiri. Cangkir bergemeretak di jemari ringkihku. Cahaya petang menyorot tempatku mendekam renta. Bayangan berkelebat menghalangi sinar di lantai. Kutengadah.

Kau berdiri di sana, memanggil, "Bapak."
Aku hanya bisa diam terpaku, pipiku basah. Ambar menantimu. Istriku terkasih menunggumu selalu untuk kembali melewati pintu itu. Dan aku menentangnya?

"Bapak," kau bersimpuh di kakiku, dahimu menyentuh lututku. "Aisah pulang." Air matamu membasuh tubuh rentaku.

"Kau sudah besar, nak," kuelus rambutnya.

Lalu kau bercerita. Bagaimana kau diculik dari sekolahmu waktu itu bersama sejumlah anak lain, dan dibawa terbang oleh tentara Jepang entah kemana. Bagaimana kau dijadikan budak, dipaksa menghibur mereka.

"Ampuni bapak, nak," kukecup keningnya.

Kini kau pulang, setelah kami mengira kau telah pergi selamanya dari kami. Bahkan kau membawa seorang lelaki bersamamu, dengan cincin emas melingkar di jemarinya dan jemarimu. Lalu mataku memandang hadirnya, anak kecil tampan itu. Kudengar bisiknya.

"Halo kakek, namaku Ifan."

Dan kemerdekanku utuh. [titik]

(Agustus 2017)

Rabu, 02 November 2016

Anak yang Hilang ( sebuah cerita pendek )

ANAK YANG HILANG
( Satu Menit Menjelang Tengah Malam )

karya Mikael Qamara Erlambang
X TJA 3 | SMK Telkom Purwokerto
Purwokerto, 28 Oktober 2016

< pesan diterima > 10/11/16  00:45

Salam Saudaraku yang terkasih,

Sepertinya tidak ada yang salah dengan salam itu. Begitukah? Ayolah, sebab kita sama-sama percaya bila kasih adalah hukum yang terutama. Kasih inilah yang menjadikan kita ada dan mempersatukan yang ada, memberi kemerdekaan dan kebebasan, menjaga perdamaian dan keteraturan, mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran. Kita pun sama-sama sadar ancaman melanda negeri kita detik ini. Ini satu menit menjelang tengah malam...

Aku ingin bercerita sebuah kisah padamu, berkaitan dengan yang sedang kita hadapi. Kenalanku seorang guru konseling. Dia datang beberapa hari silam, berbagi pengalaman mengesankan, mendesak diriku mengirim surel ini kepadamu. Ini catatan kasusnya, supaya biar kau simpulkan sendiri baik buruknya. [ ]

[ Lampiran I. ]
CATATAN KASUS:
11 Feb ‘16
Tertanda    : Nur Divya Adistya, S.Psi

Tegar Sempati (kelas IX-C) dipanggil ke ruang BK atas pelanggaran: berperilaku tidak hormat saat upacara pengibaran bendera tengah berlangsung. Pelanggaran ke-9 dalam sebulan terakhir. Dengan ini akan diadakan konsultasi tim kedisiplinan & mengundang orang tua/wali murid untuk hadir. [ ]

Kau lihat? Anak bernama Tegar ini mewakili sebagian besar anak muda zaman sekarang. Ketiadaan hormat pada jasa para pahlawan, apalagi nasionalisme dan patriotisme. Sifat berkebangsaan mereka luntur seiring berlalunya waktu. “Ini zaman modern, bung,” sembur mereka tanpa pikir panjang. “Bukan hal penting selama kami punya peralatan canggih keluaran terbaru. Selama ada teknologi dan uang kami hidup.” Sungguh tragis!

Itu hanya satu contoh dari sekitar 60 catatan kasus anak itu. Aku hampir menyuruh Nur pulang daripada aku makin terpuruk dalam kecewa terhadap generasi ini, sewaktu ia berbicara,

“Tunggu dulu,” sergahnya. “Cerita baru akan dimulai. Tirai baru saja dibuka.” Maka Nur menyerahkan sebundel kertas berisi tulisan tangan. “Bocah yang sama menulis ini. Bacalah.” Dengan rasa penasaran, kuberanikan diri membalik halaman sampul. [ ]

[ Lampiran II. ]

PENGLIHATANKU ” (cipt. Tegar Sempati)

Aku terbangun oleh debur ombak membentur bebatuan karang. Aku terduduk tegak, merasakan bobot selimut merosot ke bawah, semilir angin sejuk bertiup menerpa, menusuk menembus piyama tipisku. Kutebar pandang lewat jendela yang dibasahi embun pagi, matahari bundar merah menggantung rendah di atas cakrawala. Aku memalingkan wajah saat pantulan silau pada permukaan laut membutakan mataku.

Kemudian kusadar aku bangun di tempat yang keliru. Aku tidak tinggal di pantai atau dekat aliran air manapun. Diserang panik, aku langsung berlari menghampiri pintu, tepat ketika lantai keramik berkarpet lenyap dari bawah telapak kakiku, berganti hamparan pasir halus seputih salju. Aku melihat sekeliling. Ini semenanjung kosong, tanpa rumah, kamar, bahkan ranjangku. Ini bukan mimpi, kuyakin karena kulitku tersengat panas surya nyaris tenggelam. Waktu berjalan aneh di sini.

Sore datang bersama sebuah bayangan besar yang menaungi dimana aku berdiri. Bayangan itu menghalangi kerlip terakhir senja lalu menukik turun dan akhirnya mendarat di depanku. Rembulan bersinar menerangi sosok agung tersebut. Di bawah siraman cahaya purnama, bulu-bulunya terpampang nyata nan tegas: 17 helai bulu pada masing-masing sayap, 8 helai bulu pada ekor, 19 helai bulu di pangkal ekor, serta 45 helai bulu di leher. Kutahu, 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Indonesia. Hari yang seperti banyak hari lainnya patut diperingati, rayakan, resapi maknanya. Kuangkat pandang.

Sosok Garuda, berasal dari mitologi dalam sejarah Indonesia, yakni kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Selain menunjukkan perihal sejarah amatlah berarti dan berguna bagi kehidupan di masa mendatang sebagai pemacu dan acuan, Garuda digunakan untuk menggambarkan bangsa yang besar nan kuat. Apakah aku sadar tentang nasib negeriku sekarang? Apakah Garuda masih kurentangkan sayapnya, yang membela sejarah, yang menjamin hari esok?

Paruh, sayap, ekor, serta cakar. Kuat dan kokoh, lambang tenaga pembangunan nasional. Kutahu yang dimaksud bukan hanya bangunan fisik, melainkan pula pembangunan kesejahteraan, kemakmuran, pendidikan, dan moral bangsa ini, pembangunan yang merata dan menyeluruh. Oh, bahkan aku sendiri tak cukup teguh untuk bertahan, tidak tersungkur di hadapan lukisan kenyataan pada kanvas kehidupan.

Matahari terbit lagi, mempertegas warna emas berkemilau menyelimuti burung Garuda, perlambang keagungan dan kejayaan. Apakah bangsa ini masih mempertahankan keagungan dalam hikmat dan kebijaksanaan, bukan hanya menggali harta dan kemapanan pribadi, mencari kenikmatan duniawi yang maha tak manusiawi? Apakah aku mampu, dengan tubuh rapuh dan berdosa ini, mengerti dan paham definisi Jaya yang sesungguhnya: bukan sekadar sukses dalam profesi dan unggul dalam prestasi, namun dalam wawasan, hati nurani juga iman.

Aku rebah dan menangis, larut dalam sedih, berkabung bersama pedih, tak sanggup menghadapi sengsara dan siksa realita. Kutatap lagi sang Garuda, sontak terkejut bukan main.

Banyak sosok menyerang sang Garuda. Mereka menembak dengan peluru layaknya penjajah dahulu kala: membuatku sadar bahwa kita masih dijajah, bukan dengan teknik lampau  serba kuno melainkan taktik cemerlang selicik hasutan ular dan seganas terkaman pemangsa. Mereka menusuk dengan pedang bertatahkan permata: membuatku sadar bahwa perbudakan masih merajalela dalam kediktatoran dan kesenjangan sosial.

Mereka yang bertopeng kemunafikan melukai Sang Garuda secara sembunyi-sembunyi dan perlahan tapi pasti. Busur melengkung melepas anak-anak panah para pemburu. Para koruptor menguras, menggerogoti, merampas emas dari raga sang Garuda. Kejayaan dan kekuatan sang Garuda diremukkan oleh ketidakpedulian dan ketidaktaatan. Akan tetapi sang Garuda tetap bertahan, terus berjuang, mempertahankan perisai di dadanya dan pita dalam cengkeramannya.

Terbakar segenap keberanian dan kekuatan yang menggelegak liar, aku berderap maju, menuju sang Garuda. Akulah patriotmu, aku berseru lantang menantang betapa digdayanya upaya perenggutan kuasa sang Garuda, akulah pendukungmu, yang setia berkorban untukmu.

Aku menyingkirkan orang-orang yang berusaha merobek pita dalam cengkeram Garuda. Kusaksikan sendiri pita putih itu telah koyak di beberapa tempat, tetapi masih dapat kubaca tulisan yang tertera di atasnya: Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya tetap adalah satu kesatuan, itulah artinya. Apakah semboyan itu masih berjalan, di antara pusparagam bangsa Indonesia? Masihkah persatuan dan kesatuan dijunjung dengan menghargai beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, bukannya memecah belah dan menyulut retak pada keutuhan negeri kaya ini?

Aku menengadah melihat kepala sang Garuda menoleh ke kanan. Ke arah Barat, tatkala matahari baru saja tenggelam, sisakan jejak pendar di angkasa bertabur bintang. Tiba-tiba sang Garuda membawaku terbang meninggalkan tempat itu.

Sang Garuda terbang kian lama kian tinggi. Begitulah impian dan harapan kita seharusnya, generasi penerus bangsa, terus melejit bersama mimpi, dan menebar inspirasi bagai sepasukan tombak pelangi.

Suatu bintang kuning maha besar menerangi jagad raya dan seluruh isinya, memberi kehidupan, membagikan penerangan dan pencerahan, menyingkap kelam. Itulah kuasa Cahaya yang tak mungkin dikalahkan kegelapan manapun, asalkan kita bersedia menjaganya tetap menyala dalam hati kita, menjaganya dengan tali iman dan ikat taqwa. Aku beringsut mendekat guna melihat bentuknya lebih jelas. Bintang itu mempunyai lima titik cahaya terang yang masing-masing berbeda jalurnya namun sama asal dan tujuannya. Kemudian Garuda membawaku ke tempat lain.

Garuda membawaku ke langit senja senyala kobar api. Di hadapanku tergeletak tali rantai bermata bulat dan persegi terbuat dari emas. Di bawah rantai itu berkumpul manusia diliputi kasih dan didasari rasa kemanusiaan antar sesama. Mereka bersekutu dengan sangat tertib, berjalan beriringan dipandu keadilan. Segala tindak tanduk, tata perilaku, tutur kata, sopan santun bersumber atas adat dan adab yang berlaku.

Kemudian pergilah aku ke langit siang yang seputih kapas dan sebersih awan. Berdirilah pohon beringin yang rindang daunnya dan akar gantungnya terjulur melambai merindukan tanah. Di bawahnya bernaung manusia dari berbagai latar belakang. Mereka bersatu dalam Indonesia. Mereka bertekun dalam puji syukur atas perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dan menganggap perbedaan bukanlah sesuatu yang pantas dibuang bahkan diremehkan, melainkan untuk saling melengkapi satu sama lain, menjadi sempurna dalam satu kesatuan utuh.

Tampaklah sebentuk kepala banteng hitam berlatar lautan semerah darah. Tanduknya melengkung mencium ketinggian, dan di puncaknya duduk para wakil rakyat yang memimpin dengan penuh hikmat dan bijak lestari. Di bawah moncong sang banteng, rakyat duduk bersama, bersatu padu mencari mufakat, berupaya menentukan pilihan yang terbaik untuk negeri ini.

Adapun aku dibawa ke dataran putih untuk melihat rupa terakhir: setangkai padi dan kapas. Di sekeliling padi dan kapas itu seluruh tumpah darah Indonesia, dari yang tua maupun muda, dari yang kaya atau miskin, dari yang rendah jabatannya hingga yang paling tinggi: tanpa membedakan status sosial. Mereka bongkar sekat apapun, saling berbagi pangan dan sandang dengan orang di samping mereka, sampai setiap orang merasa kenyang dan tidak kedinginan lagi. Akan tetap bukan hanya pemenuh kebutuhan primer yang mereka bagikan, tetapi juga kemakmuran, keceriaan, kelegaan, kasih, sukacita dan damai sejahtera.

Alhasil sang Garuda mengajakku turun. Kutatap perisai di dadanya. Perisai sebagai senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai suatu tujuan. Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa: Indonesiaku Zambrud Khatulistiwa, permata hijau yang berkemilau. Pada perisai itu terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan bintang bersudut lima di tengah perisai; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan tali rantai di bagian kiri bawah perisai; Persatuan Indonesia dilambangkan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.

Setelah matahari terbenam, kubalikkan badan. Tergelar permadani hutan hijau yang gundul dan hangus terbakar di mana-mana. Serpih asap beracun memenuhi udara dengan polusi. Setiap ruang sesak oleh jiwa-jiwa rusak dan perusak.

Ada pula sang Ibu yang menangis menyaksikan kini Anak yang dikenalnya telah hilang entah kemana. Air mata berlinang, hinggap di tanah memunculkan tunas-tunas baru. Kulihat sebuah generasi tumbuh, berusaha memukul hancur penaklukan atas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kulihat sebuah kebangkitan baru datang dari balik gerbang awan api. Sang Ibu menuai hasil taburannya. Anak yang Hilang akan kembali berpulang dan membela Ibu.

Andai kupunya waktu lebih lama. Sejenak tuk menghapus air mata Ibu Pertiwi dengan jemari mungilku. Sejenak tuk panjatkan doa, meminta kepada Sang Ilahi, supaya ini bukan hanya mimpi belaka yang akan sirna sia-sia. Kitalah penentunya. Kita punya waktu. Ini satu menit menjelang tengah malam. Hari baru menanti. Kita bisa menjumpai cita yang menjadi nyata atau asa yang jadi percuma. Kitalah yang menentukannya, wahai saudaraku. [ ]

Saudaraku yang terkasih? Nur mengaku anak ini sama sekali tidak pandai dalam bidang sastra—bahkan dalam pelajaran apapun sebenarnya. Lalu bagaimana bocah ini mampu menulis kisah tersebut? Mau dengar yang lebih mencengangkan? Anak ini mengalami perubahan sikap secara drastis. Ia selalu mengikuti upacara dengan khidmat, menggalang semangat kawan-kawannya untuk berpartisipasi aktif di setiap peringatan nasional. Hebatnya, ia memperoleh peringkat 1 Ujian Nasional di kabupaten.

“Ini bisa dibilang keajaiban, mas,” ucap Nur. Wanita itu menangis saat berkata kepadaku, “Anak yang Hilang telah ditemukan kembali. Dia pergi menelusuri jalan yang salah selama itu, lalu kembali ke pelukan sang Ibu. Dia pulang serta bermaksud membalas kekurangannya di masa lalu dengan membanggakan kami dan mengharumkan nama bangsa.”

Tegar dijadwalkan berpidato mewakili Perkumpulan Generasi Kerja di Istana Negara siang nanti. Barangkali kita bisa minta bantuannya. Generasi muda membutuhkan teladan dari langkah yang diambilnya. Mengutip kata-kata Tegar dalam kisahnya: “Ini satu menit menjelang tengah malam.”

Waktu adalah serangkaian pola tak terjamah. Pilihan adalah penentu sejarah. Marilah menyatakan tanpa resah. Dahulu kita melangkah penuh penantian. Merajut doa dan harapan. Masa baru di hadapan. Menjelma suatu perubahan. Esok adalah kabut gelap. Tak sanggup disingkap. Hanya kebijaksanaan yang meresap. Satukan tekadmu, bangsa Garudaku.

Yudhistira Matarishvan Pratedja
[ pesan selesai ]


< pesan terkirim > 10/11/16  10.10

Tolong batalkan semua janji temu. Aku tahu ini mendadak dan aku tahu betapa banyak keluhan yang bakal kauterima, tapi ini tidak bisa ditunda.
Aku sedang menuntaskan sebuah janji. Janji ini lebih penting dibandingkan sejuta janjiku yang lain. Aku mau berbagi sebuah cerita pada banyak orang. Itu salah satu janjiku. Intinya, akan kuabdikan diriku untuk menepati janjiku pada tanah air tercinta, tumpah darahku, Indonesia.

Mikael Q. Erl [ selesai ]

Minggu, 04 September 2016

Intro.

       Selamat Datang.                        
                                                                                        
                                                                                    

Ini kolam 
tempat kita semua untuk minum, berenang, atau menangkap ikan-ikan kecil dari pinggirnya.

Ini juga kolam 
tempat jiwa-jiwa yang kuat 
berlayar dalam kapal mereka yang rapuh.

Ini kolam kehidupan, 
cawan inspirasi dan wadah impian, 
dan kolam ini selalu penuh terisi.

Karena tempat ini bukan hanya soal imajinasi. 

Tapi juga soal menunggu, hanya duduk menanti menatap riak-riak kolam.                 

Moralitas menumbuhkan kebenaran. 
Renungan mengarah kepada tindakan. 
Kebijaksanaan adalah persekutuan para pembangun. 
Merenung adalah bekerja. 
Berpikir adalah bertindak. 
Tangan menggenggam bekerja. 
Tangan menulis bekerja.

                 
                           
     Mikael Qamara Erlambang   
                 (Purwokerto, 5 September 2016)